Pengertian Mudharabah
A. Pengertian Mudharabah
Mudharabah
atau qiradh termasuk salah satu bentuk akad syirkah (perkongsian). Istilah
mudharabah digunakan oleh orang irak, sedangkan orang hizas menyebutnya dengan
istilah qiradh. Dengan demikian, mudharabah dan qiradh adalah dua istilah untuk
maksud yang sama.[1]
Mudharabah
adalah bahasa penduduk irak dan qiradh
atau muqaradhah bahasa penduduk Hijaz. Namun pengertian qiradh dan mudharabah
adalah satu makna. Mudharabah berasal dari kata al-dharb, yang berarti secara harfiah adalah berpergian atau
berjalan. Sebagai mana firman Allah: “Dan yang lainnya, berpergian di muka bumi
mencari karunia Allah” (Al-Muzamil: 20).
Selain al-dharb, disebut juga qiradh yang berasal dari al-qardhu, berarti al-qath’u (potongan) karena pemilik memotong sebgaian
keuntungannya. Ada pula yang menyebut mudharabah atau qiradh dengan muamalah. Jadi menurut bahasa, mudharabah atau qiradh berarti al-qath’u (pemotongan), berjalan, dan atau berpergian. Menurut
istilah, mudharabah atau qiradh dikemukakan
oleh para ulama sebagai berikut.
1. Menurut
para fuqaha, mudharabah ialah akad antara dua pihak (orang) saling menanggung,
salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan
dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau
sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
2. Menurut
hanafiyah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berakad yang
berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang lain
dan yang lain punya jasa mengelola harta itu. Maka mudarabah ialah akada syirka
dalam laba, satu pihak pemilik harta dan pihak lain pemilik jasa.[2]
3. Malikiyah
berpendapat bahwa mudharabah ialah akad perwakilan, di mana pemilik harta
mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran
yang ditentukan (mas dan perak).
4. Imam
Hanabilah berpendapat bahwa mudharabah ialah ibarat pemilik harta menyerahkan
hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagian dari
keuntungan yang diketahui.
5. Ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah ialah akad yang menentukan seseorang
menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk ditijarahkan.
6. Syaikh
Syibah al-Qalyubi dan Umairah berpendapat bahwa mudharabah ialah seseorang
menyerahkan harta kepada yang lain untuk ditijarahkan dan keuntungan
bersama-sama.
7. Al-Bakri
Ibn al-Arif Billah al-Sayyid Muhammad Syata berpendapat bahwa mudharabah ialah
seseorang memberikan masalahnya kepada yang lain dan di dalamnya diterima
penggantian.
8. Sayyid
Sabiq berpendapat, mudharabah ialah akad antara dua belah pihak untuk salah
satu pihak mengekuarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan dengan syarat
keuntungan dibagi dua sesuai dengan perjanjian.[3]
9. Menurut
Imam Taqiyuddin, mudharabah ialah akad keuangan untuk dikelola dikerjakan
dengan perdagangan.
Setelah
diketahui beberapa pengertian yang dijelaskan oleh para ulama di atas, kiranya
dapat dipahami bahwa mudharabah atau qiradh ialah akad antara pemilik modal
(harta) dengan pengelola modal tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan
diperoleh dua balah pihak sesuai jumlah kesepakatan.
B.
Dasar Hukum
Mudharabah
Melakukan mudharabah atau qiradh
adalah boleh (mubah). Dasar hukumnya ialah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah dari Shuhaib r.a., bahwasannya rasulullah Saw. Telah bersabda:
“Ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang
ditangguhkan memberi modal, dan mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga,
bukan untuk dijual.”
Diriwayatkan dari Daruquthni bahwa
Hakim Ibn Hizam apabila memberi modal kepada seseorang, dia mensyaratkan:
“harta jangan digunakan untuk membeli binatang, jangan kamu bawa kelaut, dan
jangan dibawa menyebrangi sungai, apabila kamu lakukan salah satu dari
larangan-larangan itu, maka kamu harus bertanggung jawab pada hartaku. Dalam
al-Muwathta’ Imam Malik, dari al-A’la Ibn Abd al-Rahman Ibn Ya’qub, dari
ayahnya, dari kakeknya, bahwa ia pernah mengerjakan harta Utsman r.a. sedangkan
keuntungannya dibagi dua.
Qiradh atau mudharabah menurut Ibn
Hajar telah ada sejak zaman Rasulullah, Beliau tahu dan mengakuinya, bahkan
sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad telah melakukan qiradh, yaitu Muhammad
mengadakan perjalanan ke Syam untuk menjual barang-barang milik Khadijah r.a.,
yang kemudian menjadi istri beliau.
Landasan
Hukum
Ulama fiqih sepakat bahwa
mudharabah disyaratkan dalam islam berdasarkan Al-Qur’an, Sunah, Ijma, dan
Qiyas.
a. Al-Qur’an
Ayat-ayat yang berkenaan dengan
mudharabah antara lain:
Artinya:
“dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari
sebagian karunia Allah.” (QS. Al- Juma’ah: 10)
Artinya:
”Apabila telah ditunaikan shalat, bertebaranlah kamu
di muka bumi dan carilah karunia Allah.” (QS. Al-Baqarah: 10)
Artinya:
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki
hasil perniagaan) dari Tuhan-Mu.”
b. As-Sunah
Di antara hadis yang berkaitan
dengan mudharabah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Shuhaib
bahwa Nabi SAW. Bersabda:
Artinya:
“tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual
beli yang ditangguhkan, melakukan qiradh (memberi modal kepada orang lain), dan
yang mencapurkan gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk
diperjualbelikan.”
c. Ijma
Di antara ijma’ dalam mudharabah,
adanya riwayat yang menyatakan bahwa dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk
mudharabah. Perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat lain.
d. Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada
al-musyaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun). Selain di antara
manusia ada yang miskin dana dan ada pula yang kaya. Di satu sisi, banyak orang
kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang
miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian, adanya
mudharabah ditunjukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan di
atas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.[4]
C.
Rukun
dan Syarat Mudharabah
Menurut ulama Syafi’iyah,
rukun-rukun qaridh ada enam, yaitu.
1. Pemilik
barang yang menyerahkan barang-barangnya;
2. Orang
yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang ;
3. Aqad
mudaharabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang;
4. Mal,
yaitu harta pokok atau modal;
5. Amal,
yaitu pekerjaan pengelolahan harta sehingga menghasilkan laba;
6. Keuntungan.
Menurut
Sayyid Sabiq, rukun mudharabah adalah ijab dan kabul yang keluar dari orang
yang memiliki keahlian.[5]
Syarat-syarat sah mudharabah berhubungan dengan rukun-rukun mudharabah itu
sendiri. Syarat-syarat sah mudharabah adalah sebagai berikut.
1. Modal
atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila barang itu
berbentuk masa atau perak batangan (tabara), mas hiasan atau barang dagangan
lainnya, mudharabah tersebut batal.
2. Bagi
orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasharruf, maka
dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang gila, dan orang-orang yang
berada di bawah pengampunan.
3. Modal
harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang
diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan
dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati.
4. Keuntungan
yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas presentasenya,
umpamanya setengah, sepertiga, atau seperempat.
5. Melafazkan
ijab dari pemilik modal, misalnya akuserahkan uang ini kepadamu untuk dagang
jika ada keuntungan akan dibagi dua dan kabul dari pengelola.
6. Mudharabah
bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang
di negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu, pada waktu-waktu
tertentu, sementara di waktu lain tidak karena persyaratan yang mengikat sering
menyimpang dari tujuan akad mudharabah yaitu keuntungan. Bila dalam mudharabah
ada persyaratan-persyaratan, maka mudharabah tersebut menjadi rusak (fasid)
menurut pendapat al-Syafi’i dan Malik. Sedangkan menurut Abu Hanifah dan Ibn
Hanbal, mudharabah tersebut sah.
D.
Sifat
Mudharabah
Ulama fiqih sepakat bahwa akad
dalam mudharabah sebelum dijalankan oleh pekerja termasuk akad yang tidak
lazim. Apabila sudah dijalankan oleh pekerja, di antara ulama terdapat
perbedaan pendapat, ada yang berpendapat termasuk akad yang lazim, yakni dapat
diwariskan seperti pendapat Imam Malik, sedangkan menurut ulama Syafi’iyah,
Malikiyah, dan Hanabilah, akad tersebut tidak lazim, yakni tidak dapat
diwariskan.
E.
Jenis-jenis
Mudharabah
Mudharabah ada dua macam, yaitu
mudharabah mutlak (al-multaq) dan mudharabah terikat (al-muqayyad). Mudharabah
mutlak adalah penyerahan modal seseorang kepada pengusaha tanpa memberikan
batasan, seperti berkata, “saya serahkan uang ini kepadamu untuk diusahakan,
sedangkan labanya akan dibagi di antara kita, masing-masing setengah atau
sepertiga, dan lain-lain.”
Sedangkan mudharabah muqayyad
(terikat) adalah penyerahan modal seseorang kepada pengusaha dengan memberikan
batasan, seperti persyaratan bahwa pengusaha harus berdagang di daerah bandung
atau harus berdagang sepatu, atau membeli barang dari orang tertentu, dan
lain-lain.[6]
F.
Kedudukan
Mudharabah
Hukum mudharabah berbeda-beda
karena adanya perbedaan-perbedaan keadaan. Maka, kedudukan harta yang dijadikan
modal dalam mudharabah (qiradh) juga tergantung pada keadaan.[7]
Karena pengelola modal perdagangan mengelola modal tersebut atas izin pemilik
harta, maka pengelola modal merupakan wakil pemilik barang tersebut dalam
pengelolaannya, dan kedudukan modal adalah sebagai wikalah’ alaih (objek wakalah).
Ketika harta ditasharrufkan oleh
pengelola, harta tersebut berada di bawah kekuasaan pengelola, sedangkan harta
tersebut bukan miliknya, sehungga harta tersebut berkedudukan sebagai amanat
(titipan). Apabila harta itu rusak bukan karena kelalaian pengelola, ia tidak
wajib menggantinya. Bila kerusakan timbul karena kelalaian pengelola, ia wajib
menggantinya.
Ditinjau dari segi akad, mudharabah
terdiri atas dua pihak. Bila ada keuntungan dalam pengelolaan uang, laba itu
dibagi dua dengan persentase yang telah disepakati. Karena bersama-sama dalam
keuntungan, maka mudharabah juga sebagai syirkah.
Ditinjau dari segi keuntungan yang
diterima oleh pengelola harta, pengelola mengambil upah sebagai bayaran dari
tenaga yang dikeluarkan, sehingga mudharabah dianggap sebagai ijarah
(upah-mengupah atau sewa-menyewa).
Apabila pengelola modal mengingkari
ketentuan-ketentuan mudharabah yang telah disepakati dua belah pihak, maka telah
terjadi kecacatan dalam mudharabah. Kecacatan yang terjadi menyebabkan
pengelola dan penguasaan harta tersebut dianggap ghasab. Ghasab adalah min al-kabair.
G.
Biaya
Pengelolaan Mudharabah
Biaya bagi mudharib diambil dari
hartanya sendiri selama ia tinggal di lingkungan (daerahnya) sendiri, demikian
juga bila ia mengadakan perjalanan untuk kepentingan mudharabah. Bila biaya
mudharabah diambil dari keuntungan, kemungkinan pemilik harta (modal) tidak
akan memperoleh bagian dari keuntungan karena mungkin saja biaya tersebut sama
besar atau bahkan lebih besar daripada keuntungan.[8]
Namun, jika pemilik modal
mengizinkan pengelola untuk membelanjakan modal mudharabah guna keperluan
dirinya di tengah perjalanan atau karena penggunaan tersebut sudah menjadi
kebiasaan, maka ia boleh menggunakan modal mudharbah. Imam Malik berpendapat
bahwa biaya-biaya baru boleh dibebankan kepada modal, apabila modalnya cukup
besar sehingga masih memungkinkan mendatangkan keuntungan-keuntungan.
Kiranya dapat dipahami bahwa biaya
pengelolaan mudharabah pada dasarnya dibebankan kepad pengelola modal, namun
tidak masalah biaya diambil dari keuntungan apabila pemilik modal
mengizinkannya atau berlaku menurut kebiasaan. Menurut Imam Malik; menggunakan
modal pun boleh apabila modalnya besar sehingga memungkinkan memperoleh
keuntungan berikutnya.
H.
Tindakan
setelah Matinya Pemilik Modal
Jika pemilik modal meninggal dunia,
mudharabah menjadi fasakh. Bila
mudharabah telah fasakh pengelola
modal tidak berhak mengelola modal mudharabah lagi. Jika pengelola bertindak
menggunakan modal tersebut, sedangkan ia mengetahui bahwa pemilik modal telah
meninggal dunia dan tanpa izin para ahli warisnya, maka perbuatan seperti ini
diangap sebagai ghasab. Ia wajib
menjamin keuntungannya dibagi dua.
Jika mudharabah telah fasakh (batal), sedangkan modal berbetuk
‘urud (barang dagangan), pemilik modal dan pengelola modal menjual atau
membaginya karena yang demikian itu adalah hak berdua. Jika pelaksana
(pengelola modal) setuju dengan penjualan, sedangkan pemilik modal tidak
setuju, pemilik modal dipaksa menjualnya, karena pengelola mempunyai hak dalam
keuntungan dan tidak dapat diperoleh kecuali dengan menjualnya, demikian
pendapay Mazhab Syafi’i dan Hanbali.[9]
I.
Pembatalan
Mudharabah
Mudharabah menjadi batal apabila ada
perkara-perkara sebagai berikut.
1. Tidak
terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah. Jika salah satu syarat
mudharabah tidak terpenuhi, sedangkan modal sudah dipegang oleh pengelola dan
sudah diperdagangkan, maka pengelola mendapatkan sebagian keuntungannya sebagai
upah, karena tindakannya atas izin pemilik modal. Jika ada kerugian, kerugian
tersebut menjadi tanggung jawab pemilik modal karena pengelola adalah sebagai
buruh yang hanya berhak menerima upah dan tidak bertanggung jawab sesuatu apa
pun, kecuali atas kelalaiannya.
2. Pengelola
dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal atau pengelola
modal berbuat sesuatau yang bertentangan dengan tujuan akad. Dalam keadaan
seperti ini pengelola modal bertanggung jawab jika terjadi kerugian karena
dialah penyebab kerugian.
3. Apabila
pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia atau salah seorang pemilik modal
meninggal dunia, mudharabah menjadi batal.[10]
[1]
Rachmat Syafe’i. Fiqih Muamalah.
(Bandung: Pustaka Setia, 2001). Hlm. 223.
[2]
Hendi Suhendi. Fiqih Muamalah. (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013). Hlm. 135-136.
[3]
Hendi Suhendi. Fiqih Muamalah. (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013). Hlm. 137.
[4]
Rachmat Syafe’i. Fiqih Muamalah.
(Bandung: Pustaka Setia, 2001). Hlm. 224-226.
[5]
Hendi Suhendi. Fiqih Muamalah. (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013). Hlm. 138-139.
[6]
Rachmat Syafe’i. Fiqih Muamalah.
(Bandung: Pustaka Setia, 2001). Hlm. 227.
[7]
Hendi Suhendi. Fiqih Muamalah. (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013). Hlm. 140.
[8] Hendi
Suhendi. Fiqih Muamalah. (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013). Hlm. 141.
[9]
Hendi Suhendi. Fiqih Muamalah. (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013). Hlm.142.
[10]
Hendi Suhendi. Fiqih Muamalah. (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013). Hlm. 143.
0 Response to "Pengertian Mudharabah"
Posting Komentar