PENGERTIAN RIZKI YANG HALAL
A.
Pengertian
Rizki Yang Halal
Memahami hakikat rezeki, sangat penting
melihat konsep rezeki dari beberapa tinjauan, baik rezeki secara bahasa maupun
istilah. Setelah melakukan pengkajian yang panjang tentang maknanya secara
bahasa ternyata istilah rezeki memiliki bayak makna, sebagai berikut:
1.
Berkata Ibnu Mandzur kata rizqu-al-razzaq-al-razzaaq-
bagian dari sifat Allah. Dikarenakan Allah memberikan rezeki kepada semua
makhluk-Nya. Allah yang menciptakan rezeki, memberikan kepada
makhluk-makhluk-Nya rezeki-rezeki-Nya dan menyampaikannya.Sedangkan rezeki
terbagi menjadi 2 macam, yang pertama rezeki untuk badan atau fisik seperti
bahan makanan, dan yang kedua rezeki batin bagi hati dan jiwa seperti
pengetahuan dan berbagaimacam ilmu. Dan Allah berfirman dalam surat Hud, ayat 6
: ( وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَ لَى ا رِزْقُهَا) :
2.
Berkata Raghib: kadang-kadang kata rizki
diungkapkan sesuatu yang bermakna pemberian, baik perkara keduniawiaan maupun
perkara akhirat. Dan kadang-kadang kata rezeki juga digunakan untuk makna
bagian. Dan ungkapan bagi apa yang masuk ke dalam tenggorokan dan dimakan oleh
makhluk. Oleh karena itu sering dikatakan: penguasa memberikan rezeki
tentaranya, atau akan diberikan rezeki berupa ilmu.
3.
Kata rizki dalam Mu’jam al-Wasith jika
berharakat fathah maka ia merupakan masdar, dan jika berharakat kasrah ia
sebagai nama bagi sesuatu yang direzekikan. Rizki juga bermakna sesuatu yang
bermanfaat bagi seseorang. Masing-masing dari kedua pola kata tersebut dapat
memiliki makna yang lain, seperti ungkapan apa yang bermanfaat dari apa yang
dimakan, atau dipakai seperti pakaian. dan apa yang masuk ditenggorokan dan
dimakan. Allah berfirman dalam surat al-Kahfi ayat ke فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْه
) 19 ), dan hujan dikarenakan hujan sebagai sebab rezeki, dan begitu pula
pemberian yang berlangsung.[1]
4.
Menurut Ibnu Faris al-Razi, kata rezeki
bermakna pemberian, oleh karena itu ada suatu ungkapan mengatakan ( رزقه لله رزقًا
) yang artinya Allah memberinya rezeki.
Berdasarkan
beberapa pandangan mengenai rezeki dari segi bahasa di atas, dapat disimpulkan
bahwa makna rezeki secara bahasa meliputi dua makna, makna pertama ialah
pemberian, sedangkan makna kedua rezeki disebut sebagai apa-apa yang
dimanfaatkan manusia, baik apa yang ia makan dan yang ia pakai dari pakaian.
Adapun
makna rezeki secara istilah adalah ungkapan bagi setiap apa-apa yang Allah
sampaikan kepada para hewan, maka mereka memakannya. Maka rezeki tersebut
mencakup rezeki yang halal dan rezeki yang haram, dan jika dihubungkan kepada
hewan maka iadapat berbentuk makanan atau minuman bagi hewan tersebut. Adapun
dalam pandangan Muktazilah rezeki adalah ungkapan dari sesuatu yang dimiliki
seseorang dan orang tersebut memakannya. Berdasarkan konsep tersebut, menurut
pandangan Muktazilah rezeki hanyalah rezeki halal saja, dan tidak ada rezeki
yang haram. Gugusan pembahasan rezeki di atas jika diperhatikan hubungan antara
makna rezeki secara bahasa dan istilah, dikandung maksud bahwa rezeki secara
bahasa adalah pemberian, sedangkan secara istilah adalah sesuatu yang
disampaikan, atau sesuatu yang disampaikan Allah kepada makhluk-Nya dan yang
bermanfaat baginya.[2]
Suatu benda atau
perbuatan itu tidak terlepas dari lma perkara, yaitu: halal, haram, subhat dan
mubah. Adapun arti rizki ialah sesuatu yang dapat diambil manfaatnya oleh
makhluk hidup. Hal lain yang perlu kita ketahui adalah halal. Halal berasal
dari kata yang berarti “lepas” dari ikatan atau “tidak terikat”. Sesuatu yang
halal adalah lepas dari ikatan duniawi dan ukhrawi.
Jadi rizki yang halal
adalah sesuatu yang dapat diambil manfaatnya dan boleh dikerjakan atau dimakan
dengan pengertian bahwa yang melakukannya tidak mendapatkan sanksi dari Allah.
Selain itu memohon dan berdoa juga termasuk salah satu bagian dalam usaha
mencari rizki.[3]
B.
Menahan
Diri Dari Meminta-Minta
Dari hadis abdulah bin
umar dapat dipahami bahwa orang yang memberi lebih baik daripada orang yang
meminta-minta. Karena perbuatan meminta-minta merupakan perbuatan yang
mengakibatkan seseorang menjadi tercela dan hina. Sebenarnya meminta-minta itu
boleh dan halal, tetapi boleh disini diartikan bila seseorang dalam keadaan
tidak mempunyai apa-apa pada saat itu, dengan kata lain yaitu dalam keadaan
mendesak atau sangat terpaksa sekali. Jadi perbuatan meminta-minta itu dikatakan
hina jika pekerjaan itu dalam keadaan serba cukup, sehingga akan merendahkan
dirinya sendiri baik di mata manusia maupun dalam pandangan Allah SWT di akhir
nanti.
Imam An Nawawi berkata:
“Para Ulama” mengatakan bahwa meminta-minta dalam keadaan tidak terpaksa adalah
terlarang, terhadap orang yang sanggup berusaha. Pendapat yang lebih kuat
menganggap bahwa pendapat ini makruh jika memenuhi 3 syarat, yaitu:
1. Tidak
menghinakan diri.
2. Tidak
meminta secara mendadak.
3. Tidak
menyakiti orang yang diminta.
Apabila
tidak syarat-syarat ini maka hukumnya haram. Nabi Muhammad memperbolehkan
seseorang untuk mengemis atau meminta-minta sumbangan. Diantara keadaan-keadaan
tersebut ialah sebagai berikut:
1. Ketika
seseorang menanggung beban diyat (denda) atau pelunasan hutang orang lain, ia
boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti.
2. Ketika
seseorang ditimpa musibah yang menghabiskan seluruh hartanya, ia boleh
meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup.
3. Ketika
seseorang tertimpa kefakiran yang sangat sehingga disaksikan oleh tiga orang
berakal cerdas dari kaumnya bahwa dia tertimpa kekafiran, maka baginya
meminta-minta sampai dia mendapatkan penegak bagi kehidupannya.[4]
C.
Cara
Mencari Rizki Yang Halal
Dalam mecari rizki yang
halal, perlu memperhatikan hal-hal berikut:
1. Di
dalam mencari rizki hendaklah memperhatikan halal dan haramnya, baik dan
buruknya.
Rasulullah SAW juga
bersabda yang artinya: “orang yang berusaha untuk keluarganya dari yang halal,
maka ia senilai dengan perjuangan dijalan Allah SWT, dan orang yang mencari
rizki dunia yang halal dengan menghindari dosa,
maka ia di tingkat para syuhada”.
Rizki itu berupa saham
yang dipertaruhkan di dalam perusahaan dunia ini, dimana terdapat saham makhluk
manusia secara merata. Tidakmungkin seseorang mendapatkan hasil dari sahamnya
itu namun ia tidak berusaha, sebab malas tidak membawa bahagia bagi manusia.
2. Di
dalam mencari rizki yang halal tidak boleh mengikuti kehendak hawa nafsu.
Karena mencari rizki
yang halal itu wajib hukumnya, maka tidak boleh mengikuti hawa nafsu yang
menyimpang ajaran islam dan langkah-langkah setan karena rizki yang yang tidak
halal akan berpengaruh negatif terhadap segi-segi hidup dan kehidupan manusia,
baik pelakunya sendiri maupun masyarakat sekitarnya.
3. Mencari
rizki dengan bekerja dan berusaha serta makan dari usaha sendiri.
Kerja dalam pengertian
luas adalah bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi atau non
materi, intelektual atau fisik, maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah
keduniaan atau keakhiratan. Adapun pengertian kerja secara khusus adalah
potensi yang dikeluarkan manusia untuk memenuhi tuntutan hidupnya berupa
makanan, pakaian, tempat tinggal, dan peningkatan taraf hidupnya. Islam
mempunyai perhatian besar terhadap kerja, baik dalam pengertiannya yang umum
maupun khusus.
Bahwasannya Rasulullah
SAW menganjurkan untuk bekerja dan berusaha serta makan dari hasil keringatnya
sendiri, bekerja dan berusaha dalam islam adalah wajib, maka setiap muslim
dituntut untuk bekerja dan berusaha dalam memakmurkan hidup ini. Selain itu
juga mengandung anjuran untuk memelihara kehormatan dan menghindarkan diri dari
perbuatan meminta-minta karena islam sebagai agama yang mulia telah
memerintahkan untuk tidak melakukan pekerjaan yang hina.
Kata Ibnu Atsir Kasab
adalah usaha mencari rizki dan penghidupan. Sebaik-baik cara berusaha bekerja
dengan tangannya sendiri di pabrik-pabrik di perkebunan dan lahan-lahan
pekerjaan yang halal. Bekerja termasuk sunah para Nabi, Nabi Daud membuat baju
besi dan menjualnya sendiri, Nabi Zakariya adalah tukang kayu, Nabi kita
Muhammad SAW bekerja sebagai mengembala kambing dan pedagang yang menjual
barang dagangan Khadijah yang kelak menjadi istrinya. Setiap jual beli yang
maqbul, yang tidak diikuti tipu daya dan khianat akan diterima Allah SWT
sebagai ibadah yang berpahala.[5]
Firman Allah SWT yang
artinya “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang terdapat di bumi yang
halal dan baik dan janganlah kamu menikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya
setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168).[6]
4. Dalam
mengenal bisnis kita harus mengenal ketekunan dan keuletan.
Rasulullah
memerintahkan mereka bekerja dengan kemampuan kerja dan memberinya dorongan
agar tidak merasa lemah dan mengharapkan belas kasihan orang lain. Dalam
Al-Qur’an menyatakan bahwa pertolongan Allah hanya datang kepada mereka yang
berusaha dengan komitmen dan kesungguhan. Dalam surat Al-Isra ayat 84
menyatakan bahwa seseorang harus bekerja sesuai dengan bakat dan kemampuan:
Katakanlah:
“tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” Maka Tuhanmu lebih
mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”
Pekerjaan apapun tidak
dipandang rendah oleh islam, hanya perlu ditekankan bahwa dalam berusaha harus
memperhatikan prosesnya yang terkait dengan halal dan haram. Nabi adalah contoh
suri tauladan bagi umatnya seperti yang tertera pada hadis ini bahwa nabi pun
mengajarkan kita bahwa bekerja apapun asalkan halal, maka kita boleh
melakukannya.
Nabi Muhammad SAW
sendiri pun pernah mengembala kambing milik penduduk Makkah sebelum menjadi
Nabi. Hal ini menunjukan bahwa prosesi Nabi dan Rasul itu tidak merintangi tugasnya sebagai pembawa risalah
kebenaran Allah SWT.
Rasulullah SAW
menganjurkan umatnya supaya berusaha memenuhi hajat hidup dengan jalan apapun
menurut kemampuan asal jalan yang
ditempuh itu halal. Penjelasan hadis di atas bahwasannya Nabi Daud AS.
di samping sebagai Nabi dan Rasul, juga seorang raja. Namun demikian,
sebagaimana diceritakan Nabi SAW. Dalam hadis beliau ini, bahwa apa yang dimakan
oleh Nabi Daud adalah jerih payahnya sendiri dengan bekerja yang menhasilkan
sesuatu sehingga dapat memperoleh uang untuk keperluan hidupnya sehari-hari. Di
antaranya sebagaimana dikisahkan oleh Al-Qur’an, bahwa Allah menjanjikan besi
buat Nabi Daud sehingga dia bisa membuat aneka macam pakaian besi. Bahkan nabi
zakariya adalah seorang tukang kayu, nabi mengatakan bahwa orang yang
mengumpulkan kayu, lalu membawanya ke pasar dan menjualnya dan memanfaatkan
hasil penjualannya dan menyedekahkannya sebagian adalah lebih baik dari pada
meminta-minta kepada orang, baik permintaannya itu diberikan ataupun tidak.
Maka hadis tersebut
adalah bahwasannya Rasulullah SAW mengajarkan untuk kerja dan berusaha serta
makan dari hasil keringatnya sendiri. Bekerja dan berusaha dalam islam
adalah wajib, maka setiap muslim
dituntut bekerja dan berusaha dalam kemakmurkan hidup ini. Selain itu jika
mengandung anjuran untuk memelihara kehormatan diri dan menghindarkan diri dari
perbuatan meminta-minta karena islam sebagai agama yang mulia telah
memerintahkan untuk tidak melakukan pekerjaan yang hina.[7]
D.
Hikmah
Mencari Rizki Yang Halal
Beberapa keutamaan
mencari rizki yang halal antara lain:
1. Dosanya
akan diampuni
Mencari rizki yang
halal dalam rangka mencukupi kebutuhan pribadinya dan keluarganya adalah
sesuatu hal yang sangat terpuji bahkan dapat terampuni dosa-dosanya.
2. Menumbuhkan
sikap juang yang tinggi dalam menegakan ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Bagi orang yang selalu
mengusahakan untuk menjaga makanannya dari yang haram berati ia telah berjuang
di jalan Allah dengan derajat yang tinggi.
3. Mendekatkan
diri kepada Allah
Orang yang senantiasa
mengonsumsi makanan yang halal, maka dengan sendirinya akan menambah keyakinan
diri bahwa Allah sekat dengan kita yang selalu mendengarkan permintaan doa
kita.[8]
[1]
Achmad
Kurniawan Pasmadi. Konsep Rezeki Dalam Al-Quran. Jurnal Didaktika Islamika. Volume. 6
Nomor. 2 Agustus 2015. Hlm. 133-134.
[2]
Ibid., Hlm. 135.
[3]
Amad siddiq. Benang Antara Halal dan
Haram. (Surabaya: Putra Pelajar. 2002). Hlm. 9.
[4]
Tengku Muhammad Ahs-Shidiqie. Mutiara
Hadis Jilid 4. (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 2006). Hlm. 164.
[5]
Ahmad Sunarto. Halal dan Haram. (Jakarta:
Pustaka Amani. 1989). Hlm. 13-15.
[7]
Ahmad Sunarto. Halal dan Haram. (Jakarta:
Pustaka Amani. 1989). Hlm. 15-17.
[8]
Ibid., Hlm. 18.
0 Response to "PENGERTIAN RIZKI YANG HALAL"
Posting Komentar